Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (1)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Adalah
Lina, demikian panggilan akrabnya. Ibu rumah tangga yang merupakan warga
Jakarta itu, empat tahun yang lalu ia pernah mendapat tawaran berangkat haji
dengan cara multi level marketing (MLM).
Tetapi, ia tidak mudah percaya
begitu saja. Baginya, jangankan haji, barang saja yang beredar melalui bisnis
itu banyak unsur penipuannya. Ia berprinsip, haji adalah bagi mereka yang
mampu. “Kalau tidak mampu, mengapa saya paksakan untuk berangkat haji?”
katanya.
Dengan cara MLM itu, katanya,
seolah-olah dipaksakan. Kasihan mereka yang daftar terakhir, dari mana mendapat
kesempatan pergi ke Tanah Suci kalau ia tidak mendapatkan nasabah.
Dalam bisnis ini ada unsur penipuan
sekaligus ada unsur ketidakpastian. H Anton Subekti, Bagian Diklat Himpunan
Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) bersama sejumlah pengurus HIMPUH lainnya
beberapa waktu lalu bersilaturahim dengan Pengurus Dewan Syariah Nasional (DSN)
di kantor DSN Jalan Dempo No 19, Menteng, Jakarta Pusat.
Kepada Jurnal Haji Republika,
awalnya Anton mengaku, pertemuan HIMPUH-DSN hanya untuk memperkaya wawasan.
Tetapi, menanggapi praktik pemasaran berjenjang pada produk layanan umrah-haji
atau lazim disebut MLM haji dan umrah yang banyak dilakukan berbagai pihak,
menurut Anton, ada travel yang berizin, travel tidak berizin, ada yang bukan
travel, ada yang perorangan, ada yang hanya bermodalkan banner, dan ada juga
yang hanya bermodalkan website.
“Nah, inilah yang ingin kita sikapi.
Kalau dibiarkan akan merusak tatanan penyelenggaraan umrah-haji secara umum,”
jelas Anton.
Ia mengakui, animo masyarakat untuk
pergi ke Tanah Suci beribadah haji sangat tinggi. “Antrean sudah lebih dari 12
tahun. Akhirnya, banyak masyarakat mengalihkan kerinduan akan Ka’bah dengan
ibadah umrah. Kalau mau dilihat dari sisi pasar, ini sungguh luar biasa,”
tandas Anton.
Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (2)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menurut
Anton, pemerintah sudah membuat tatanan UU No. 13 tahun 2008 dan ada instrumen
lainnya yang mengatur penyelenggaraan haji dan umrah.
“Saat ini tampaknya sudah mulai
dirusak dengan praktik-praktik pemasaran berkedok MLM. Karena kalau berdasarkan
pandangan Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI)—sebagai ahlinya
MLM—mereka membuat definisi MLM legal itu menghidupi jaringannya dengan
menjadikan sumber utama pendapatan dari hasil penjualan produk ataupun jasa,”
paparnya.
Sedangkan praktik yang ada selama
ini dalam pemasaran layanan umrah-haji—ada indikasi kuat dengan tidak menuduh
langsung—yang dilakukan adalah sumber pendapatan utama jaringan dari iuran
rekrutmen anggota baru atau calon jamaah umrah-haji. “Kalau dibiarkan, ini
tentu akan membahayakan jamaah,” katanya.
Menurut dia, soal MLM sejak 2004
sudah muncul. Hanya, waktu itu baru satu pemain. Sekarang sudah puluhan pemain.
Maka itu, dampaknya terasa. Pelakunya bukan hanya travel, ada lembaga dan
bahkan perorangan, ada juga badan usaha yang tidak berbentuk karena hanya
membuka website dan tidak mempunyai kantor.
Namun, sejumlah pelaku industri
perjalanan haji dan umrah yang terlibat dalam bisnis dengan menggunakan cara
serupa membantah praktik mereka disebut dengan MLM. Arminareka Perdana Tour dan
Travel misalnya, tak sependapat dengan tudingan di atas.
Manager Operasional Arminareka
Perdana Tour dan Travel, Muhammad Sultomi, mengatakan perusahaannya
mengembangkan pola mencari jamaah sebanyak-banyaknya. “Karena pada prinsipnya,
siapa yang mau bekerja dialah yang akan segera berangkat umrah. Sebaliknya,
bagaimana mau berangkat umrah kalau malas mengumpulkan jamaah,” kata dia.
Sultomi menegaskan, di MLM, siapa
yang ada di puncak karena mereka mau bekerja. Dan kalau mau cepat berangkat
umrah, ya bekerja mencari jamaah sebanyak-banyaknya. Bagi yang berminat dengan
sistem yang diberlakukan di Arminareka harus menyetor DP sebesar Rp 3,5 juta.
Setelah itu, merekrut jamaah sebanyak-banyaknya.
Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (3)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –
Keberadaan praktik multi level marketing (MLM) mengundang perhatian serius dari
asosiasi penyelenggara haji dan umrah.
Perlu kajian dan syarat ketat
Ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) Baluki Ahmad mengaku sangat prihatin dengan maraknya MLM yang merambah ke bisnis perjalanan haji dan umrah.
Ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) Baluki Ahmad mengaku sangat prihatin dengan maraknya MLM yang merambah ke bisnis perjalanan haji dan umrah.
Menurutnya, bentuk pemasaran seperti
ini bisa menjadi bom waktu. “Dampaknya, merugikan pihak-pihak yang terlibat di
jaringan tersebut,” ujarnya.
Baluki menggambarkan sistem MLM
umrah dan haji yang dikembangkan selama ini. Untuk umrah, cukup dengan menyetor
uang Rp 3,5 juta, lalu mencari tujuh orang yang masing-masing menyetor pula Rp
3,5 juta, bisa berangkat umrah.
Sedangkan, haji dijanjikan akan
berangkat bila menyetor dana Rp 6 juta, selanjutnya menjaring 12 hingga 15
orang yang masing-masing wajib menyetor Rp 6 juta. Jika diuraikan, akan
berbentuk sebuah piramida.
Dalam Islam, kata Baluki, produk
yang boleh dijual berupa barang dan jasa. Kalau cara MLM seperti ini, maka
produk apa yang mereka jual? Ia mempertanyakan mereka yang tidak mendapat
jaringan sesuai jumlah yang ditentukan, bagaimana nasibnya? Dia akan rugi
karena sudah menyetor sejumlah uang, tapi belum pasti kapan berangkatnya.
Beberapa waktu lalu, Baluki mengaku
pernah mengantarkan salah satu korban yang merasa dirugikan MLM umrah dan haji
ke Dewan Syariah Nasional DSN MUI. Ia berasal dari Karawang, Jawa Barat.
Korban tersebut telah menyetor uang
Rp 3,5 juta. Tapi, karena belum mendapat tujuh orang di bawahnya, jadi belum
berangkat. “Hal ini membuktikan yang diuntungkan hanya di upline. Bagaimana
nasib di downline?” katanya.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada yang
menjadikan MLM umrah dan haji ini untuk mencari keuntungan. Mereka yang sudah
setor dan mendapat tujuh orang di bawahnya tidak mau berangkat umrah. Karena,
niatnya memang bukan untuk ibadah, melainkan mengambil keuntungannya saja.
Oleh karena itu, Baluki mendesak MUI
mengkaji kepatutan praktik ini dalam pandangan syariah. Ia juga meminta
pemerintah turun tangan. “Jangan sampai ada korban dulu, baru pemerintah
bergerak,” tegasnya.
Ia menyebut, praktik ini marak tiga
tahun terakhir. Selain di Pulau Jawa, Sumatera menjadi lahan subur praktik MLM
ini. Namun, sebenarnya, menurut Baluki, pola MLM ini cara lama yang dimunculkan
kembali.
Sebab, beberapa tahun lalu ia pernah
menemukan cara serupa. Bahkan, Baluki diundang sebuah perusahaan milik
non-Muslim yang mempresentasikan MLM haji dan umrah. “Saat itu, saya protes,
apa-apaan cara seperti ini?” katanya.
Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (4)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sementara
itu, Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia
(AMPHURI), Sugeng Wuryanto, mengatakan MLM haji dan umrah merupakan kreasi atau
modifikasi marketing untuk menarik jamaah sebanyak-banyaknya.
Jika MLM dilaksanakan sesuai dengan
mekanisme dan sistem yang benar, baik jamaah maupun pihak penyelenggara
(travel), sama-sama diuntungkan. Hubungan mereka sebagai simbiosis mutualisme;
jamaah berangkat dengan dana minimal, travel pun bisa memberangkatkan banyak
jamaah.
Yang menjadi persoalan, lanjut
Sugeng, jika MLM ini tidak dilakukan sesuai mekanisme yang seharusnya. Di mana
ada pihak yang diuntungkan secara maksimal, tetapi ada pihak lain dirugikan,
dizalimi. Ini yang menjadi masalah.
Lebih parah lagi kalau tujuan MLM
itu sudah melenceng dari tujuan awal yang seharusnya berangkat umrah, tapi
menjadi sarana untuk mencari keuntungan. “Tujuan MLM harus berangkat umrah,
bukan investasi, apalagi money game. Kalau tujuannya bukan berangkat umrah, ini
sudah penyelewengan,” paparnya.
Menurutnya, langkah penertiban perlu
beberapa syarat, yaitu pertama, syarat penyelenggaranya harus Muslim karena ada
juga peserta non-Muslim yang mengikuti MLM ini. “Kalau non-Muslim ikut-ikutan
MLM haji umrah, tentu tujuannya bukan untuk ibadah, melainkan mencari
keuntungan (investasi-Red),” kata Sugeng.
Syarat kedua, peserta hanya boleh
mengambil satu titik. Kalau ada yang mengambil beberapa titik, sudah pasti
melenceng dari tujuan. Karena, tidak mungkin haji atau umrah dalam waktu
bersamaan.
Syarat ketiga, bonus yang didapat
dari MLM setengahnya harus masuk ke buku tabungan. Tabungan haji atau umrah
dananya sudah pasti untuk berangkat haji atau umrah. Maka itu, keuntungan tidak
boleh diambil seluruhnya.
Secara lembaga, AMPHURI belum
menentukan sikap tentang MLM haji umrah. Belum juga ada laporan yang masuk dari
pihak-pihak yang merasa dirugikan dari modifikasi marketing tersebut.
Dari hasil penelusuran di lapangan
dua bulan terakhir, Sugeng menyimpulkan tidak ada masalah. Dia menemui para
jamaah umrah hasil MLM yang menyatakan tidak ada masalah selama beribadah.
Pelayanannya pun tidak dibedakan dengan jamaah yang lain.
Andaikan program ini akan terus
dilanjutkan, Sugeng mengusulkan agar MLM diberlakukan untuk umrah saja, tidak
untuk haji. Kalau umrah waktunya lebih lengang, tidak bisa berangkat bulan ini,
bisa bulan depan. Sedangkan, haji waktunya sudah ditentukan serta dibatasi
kuota.
Redaktur: Chairul Akhmad
Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (5)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –
Persaingan antarpenyelenggara umrah dan haji melahirkan jenis pemasaran multi
level marketing (MLM).
Meski belum ada fatwa yang secara
khusus mengenai praktik itu, keberadaannya mulai banyak dan terindikasi
menimbulkan masalah bagi iklim bisnis maupun kerugian materi para jamaah.
Sanksi tegas bila menyimpang
Menurut Direktur Pembinaan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Ahmad Kartono, praktik MLM sangat merugikan masyarakat. Prosedur penyelenggaraan haji dan umrah, katanya, sudah diatur dengan undang-undang mulai pendaftaran awal dan setorannya. “Kontroversi secara hukum juga masih dipermasalahkan.”
Menurut Direktur Pembinaan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Ahmad Kartono, praktik MLM sangat merugikan masyarakat. Prosedur penyelenggaraan haji dan umrah, katanya, sudah diatur dengan undang-undang mulai pendaftaran awal dan setorannya. “Kontroversi secara hukum juga masih dipermasalahkan.”
Kartono mengungkapkan, pihaknya
telah menerima aduan terkait dugaan penyalahgunaannya. Ada kalangan yang merasa
dirugikan. Hal ini terbukti dengan lima surat pengaduan yang diterima Kemenag.
Para pelapor mengadukan maupun
mempertanyakan travel berizin maupun tidak berizin yang mengadakan umrah dengan
cara program ini. Area pengaduannya di Lampung, Jawa Tengah, Surabaya, dan
Kalimantan.
Masyarakat, lanjut Kartono, terpikat
dengan praktik MLM semacam ini karena dilatarbelakangi iming-iming biaya yang
murah dibanding dengan biaya haji atau umrah secara resmi. Padahal, dengan cara
berantai atau arisan ini, lebih banyak orang yang kecewa.
Secara tegas, Kartono menyatakan,
pemerintah akan melayangkan teguran kepada travel yang dilaporkan tersebut. Ini
penting mengingat semua penyelenggara haji dan umrah dituntut memenuhi
ketentuan operasional. “Travel nakal seperti ini akan mengganggu citra travel
resmi,” katanya.
Sementara Ketua Umum Majelis
Pimpinan Pusat Rabithah Haji Indonesia (RHI), Drs H Ade Marfuddin, menyatakan
saat ini sangat mudah untuk menjual produk jasa yang berbasis agama
(ibadah)—khususnya haji—yaitu dengan membayar Rp 3,5 juta untuk umrah dan Rp 5
juta untuk haji khusus.
Ia khawatir, akan adanya upaya untuk
membodohi masyarakat, yaitu MLM berkedok ibadah. Dan akibatnya, jamaah yang
dirugikan.
Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (6-habis)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menurut
Ade, dari sisi pemahaman, banyak masyarakat yang kurang memahami makna dan
hakikat haji dan umrah.
Mereka hanya sebatas memaknai haji
dan umrah untuk wisata semata sehingga haji dan umrah disamakan dengan
perjalanan wisata biasa, bukan perjalanan spiritual dan penyempurnaan kewajiban
dari rukun Islam yang kelima dengan syarat istitha’ah (berkemampuan), baik
berkemampuan finansial, kesehatan, maupun keamanan serta kemampuan dalam ilmu
pengetahuan (ilmu manasik hajinya).
Ade menilai, masyarakat Muslim
Indonesia mudah teperdaya dengan tipu daya dan tipu muslihat tawaran MLM yang
berkedok ibadah (cara mudah dan cepat haji atau umrah) tanpa memahami dampak
terhadap downline yang ada di bawahnya.
Kerugian dan penyesalan hanya
tinggal menunggu waktu. “Lagi-lagi yang dikorbankan adalah konsumen (masyarakat
Muslim),” kata Ade.
Ade berpandangan, sistem MLM haji
dan umrah tidak bisa menjamin bahwa downline dapat berangkat haji atau umrah.
“MLM ini memiliki nilai ketidakpastian dan lebih banyak gharar (unsur
penipuan)nya.”
Melihat kondisi ini, Ade mendesak
pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat Muslim Indonesia
dari praktik MLM yang berkedok ibadah. “Jangan menunggu korban lebih banyak dan
masyarakat yang dirugikan,” pinta Ade.
Menurut dia, pemerintah harus tegas
dalam menyikapi praktik MLM haji dan umrah tersebut karena proses ini dinilai
tidak wajar dan mengandung unsur gharar-nya. Ade bahkan berharap perusahaan
yang bergerak dalam MLM tersebut dicabut izinnya. Ia juga mendesak MUI untuk
segera mengeluarkan fatwa haram terkait peraktik MLM haji dan umrah, sehingga
calon jamaah dapat terselamatkan dari tipu daya MLM.
Kepada ormas Islam dan lembaga
Islam, Ade memandang perlu untuk melakukan imbauan dan melakukan pencerdasan
kepada umat agar tidak mudah tergelincir akan tipu daya MLM yang berkedok
ibadah.
Masyarakat harus lebih hati-hati,
bila mendapat tawaran untuk mengikuti MLM haji dan umrah. “Tanyakan kedudukan
hukum MLM tersebut dan lebih hati-hati!” imbau Ade.