Minggu, 10 November 2013

Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah



Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (1)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Adalah Lina, demikian panggilan akrabnya. Ibu rumah tangga yang merupakan warga Jakarta itu, empat tahun yang lalu ia pernah mendapat tawaran berangkat haji dengan cara multi level marketing (MLM).

Tetapi, ia tidak mudah percaya begitu saja. Baginya, jangankan haji, barang saja yang beredar melalui bisnis itu banyak unsur penipuannya. Ia berprinsip, haji adalah bagi mereka yang mampu. “Kalau tidak mampu, mengapa saya paksakan untuk berangkat haji?” katanya.

Dengan cara MLM itu, katanya, seolah-olah dipaksakan. Kasihan mereka yang daftar terakhir, dari mana mendapat kesempatan pergi ke Tanah Suci kalau ia tidak mendapatkan nasabah.
Dalam bisnis ini ada unsur penipuan sekaligus ada unsur ketidakpastian. H Anton Subekti, Bagian Diklat Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) bersama sejumlah pengurus HIMPUH lainnya beberapa waktu lalu bersilaturahim dengan Pengurus Dewan Syariah Nasional (DSN) di kantor DSN Jalan Dempo No 19, Menteng, Jakarta Pusat.

Kepada Jurnal Haji Republika, awalnya Anton mengaku, pertemuan HIMPUH-DSN hanya untuk memperkaya wawasan. Tetapi, menanggapi praktik pemasaran berjenjang pada produk layanan umrah-haji atau lazim disebut MLM haji dan umrah yang banyak dilakukan berbagai pihak, menurut Anton, ada travel yang berizin, travel tidak berizin, ada yang bukan travel, ada yang perorangan, ada yang hanya bermodalkan banner, dan ada juga yang hanya bermodalkan website.

“Nah, inilah yang ingin kita sikapi. Kalau dibiarkan akan merusak tatanan penyelenggaraan umrah-haji secara umum,” jelas Anton.
Ia mengakui, animo masyarakat untuk pergi ke Tanah Suci beribadah haji sangat tinggi. “Antrean sudah lebih dari 12 tahun. Akhirnya, banyak masyarakat mengalihkan kerinduan akan Ka’bah dengan ibadah umrah. Kalau mau dilihat dari sisi pasar, ini sungguh luar biasa,” tandas Anton.

Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (2)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menurut Anton, pemerintah sudah membuat tatanan UU No. 13 tahun 2008 dan ada instrumen lainnya yang mengatur penyelenggaraan haji dan umrah.

“Saat ini tampaknya sudah mulai dirusak dengan praktik-praktik pemasaran berkedok MLM. Karena kalau berdasarkan pandangan Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI)—sebagai ahlinya MLM—mereka membuat definisi MLM legal itu menghidupi jaringannya dengan menjadikan sumber utama pendapatan dari hasil penjualan produk ataupun jasa,” paparnya.

Sedangkan praktik yang ada selama ini dalam pemasaran layanan umrah-haji—ada indikasi kuat dengan tidak menuduh langsung—yang dilakukan adalah sumber pendapatan utama jaringan dari iuran rekrutmen anggota baru atau calon jamaah umrah-haji. “Kalau dibiarkan, ini tentu akan membahayakan jamaah,” katanya.
Menurut dia, soal MLM sejak 2004 sudah muncul. Hanya, waktu itu baru satu pemain. Sekarang sudah puluhan pemain. Maka itu, dampaknya terasa. Pelakunya bukan hanya travel, ada lembaga dan bahkan perorangan, ada juga badan usaha yang tidak berbentuk karena hanya membuka website dan tidak mempunyai kantor.

Namun, sejumlah pelaku industri perjalanan haji dan umrah yang terlibat dalam bisnis dengan menggunakan cara serupa membantah praktik mereka disebut dengan MLM. Arminareka Perdana Tour dan Travel misalnya, tak sependapat dengan tudingan di atas.
Manager Operasional Arminareka Perdana Tour dan Travel, Muhammad Sultomi, mengatakan perusahaannya mengembangkan pola mencari jamaah sebanyak-banyaknya. “Karena pada prinsipnya, siapa yang mau bekerja dialah yang akan segera berangkat umrah. Sebaliknya, bagaimana mau berangkat umrah kalau malas mengumpulkan jamaah,” kata dia.

Sultomi menegaskan, di MLM, siapa yang ada di puncak karena mereka mau bekerja. Dan kalau mau cepat berangkat umrah, ya bekerja mencari jamaah sebanyak-banyaknya. Bagi yang berminat dengan sistem yang diberlakukan di Arminareka harus menyetor DP sebesar Rp 3,5 juta. Setelah itu, merekrut jamaah sebanyak-banyaknya.

Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (3)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keberadaan praktik multi level marketing (MLM) mengundang perhatian serius dari asosiasi penyelenggara haji dan umrah.
Perlu kajian dan syarat ketat
Ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) Baluki Ahmad mengaku sangat prihatin dengan maraknya MLM yang merambah ke bisnis perjalanan haji dan umrah.
Menurutnya, bentuk pemasaran seperti ini bisa menjadi bom waktu. “Dampaknya, merugikan pihak-pihak yang terlibat di jaringan tersebut,” ujarnya.

Baluki menggambarkan sistem MLM umrah dan haji yang dikembangkan selama ini. Untuk umrah, cukup dengan menyetor uang Rp 3,5 juta, lalu mencari tujuh orang yang masing-masing menyetor pula Rp 3,5 juta, bisa berangkat umrah.
Sedangkan, haji dijanjikan akan berangkat bila menyetor dana Rp 6 juta, selanjutnya menjaring 12 hingga 15 orang yang masing-masing wajib menyetor Rp 6 juta. Jika diuraikan, akan berbentuk sebuah piramida.

Dalam Islam, kata Baluki, produk yang boleh dijual berupa barang dan jasa. Kalau cara MLM seperti ini, maka produk apa yang mereka jual? Ia mempertanyakan mereka yang tidak mendapat jaringan sesuai jumlah yang ditentukan, bagaimana nasibnya? Dia akan rugi karena sudah menyetor sejumlah uang, tapi belum pasti kapan berangkatnya.

Beberapa waktu lalu, Baluki mengaku pernah mengantarkan salah satu korban yang merasa dirugikan MLM umrah dan haji ke Dewan Syariah Nasional DSN MUI. Ia berasal dari Karawang, Jawa Barat.
Korban tersebut telah menyetor uang Rp 3,5 juta. Tapi, karena belum mendapat tujuh orang di bawahnya, jadi belum berangkat. “Hal ini membuktikan yang diuntungkan hanya di upline. Bagaimana nasib di downline?” katanya.

Yang lebih mengkhawatirkan, ada yang menjadikan MLM umrah dan haji ini untuk mencari keuntungan. Mereka yang sudah setor dan mendapat tujuh orang di bawahnya tidak mau berangkat umrah. Karena, niatnya memang bukan untuk ibadah, melainkan mengambil keuntungannya saja.
Oleh karena itu, Baluki mendesak MUI mengkaji kepatutan praktik ini dalam pandangan syariah. Ia juga meminta pemerintah turun tangan. “Jangan sampai ada korban dulu, baru pemerintah bergerak,” tegasnya.

Ia menyebut, praktik ini marak tiga tahun terakhir. Selain di Pulau Jawa, Sumatera menjadi lahan subur praktik MLM ini. Namun, sebenarnya, menurut Baluki, pola MLM ini cara lama yang dimunculkan kembali.
Sebab, beberapa tahun lalu ia pernah menemukan cara serupa. Bahkan, Baluki diundang sebuah perusahaan milik non-Muslim yang mempresentasikan MLM haji dan umrah. “Saat itu, saya protes, apa-apaan cara seperti ini?” katanya.

Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (4)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sementara itu, Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Sugeng Wuryanto, mengatakan MLM haji dan umrah merupakan kreasi atau modifikasi marketing untuk menarik jamaah sebanyak-banyaknya.

Jika MLM dilaksanakan sesuai dengan mekanisme dan sistem yang benar, baik jamaah maupun pihak penyelenggara (travel), sama-sama diuntungkan. Hubungan mereka sebagai simbiosis mutualisme; jamaah berangkat dengan dana minimal, travel pun bisa memberangkatkan banyak jamaah.
Yang menjadi persoalan, lanjut Sugeng, jika MLM ini tidak dilakukan sesuai mekanisme yang seharusnya. Di mana ada pihak yang diuntungkan secara maksimal, tetapi ada pihak lain dirugikan, dizalimi. Ini yang menjadi masalah.

Lebih parah lagi kalau tujuan MLM itu sudah melenceng dari tujuan awal yang seharusnya berangkat umrah, tapi menjadi sarana untuk mencari keuntungan. “Tujuan MLM harus berangkat umrah, bukan investasi, apalagi money game. Kalau tujuannya bukan berangkat umrah, ini sudah penyelewengan,” paparnya.
Menurutnya, langkah penertiban perlu beberapa syarat, yaitu pertama, syarat penyelenggaranya harus Muslim karena ada juga peserta non-Muslim yang mengikuti MLM ini. “Kalau non-Muslim ikut-ikutan MLM haji umrah, tentu tujuannya bukan untuk ibadah, melainkan mencari keuntungan (investasi-Red),” kata Sugeng.

Syarat kedua, peserta hanya boleh mengambil satu titik. Kalau ada yang mengambil beberapa titik, sudah pasti melenceng dari tujuan. Karena, tidak mungkin haji atau umrah dalam waktu bersamaan.
Syarat ketiga, bonus yang didapat dari MLM setengahnya harus masuk ke buku tabungan. Tabungan haji atau umrah dananya sudah pasti untuk berangkat haji atau umrah. Maka itu, keuntungan tidak boleh diambil seluruhnya.

Secara lembaga, AMPHURI belum menentukan sikap tentang MLM haji umrah. Belum juga ada laporan yang masuk dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dari modifikasi marketing tersebut.
Dari hasil penelusuran di lapangan dua bulan terakhir, Sugeng menyimpulkan tidak ada masalah. Dia menemui para jamaah umrah hasil MLM yang menyatakan tidak ada masalah selama beribadah. Pelayanannya pun tidak dibedakan dengan jamaah yang lain.

Andaikan program ini akan terus dilanjutkan, Sugeng mengusulkan agar MLM diberlakukan untuk umrah saja, tidak untuk haji. Kalau umrah waktunya lebih lengang, tidak bisa berangkat bulan ini, bisa bulan depan. Sedangkan, haji waktunya sudah ditentukan serta dibatasi kuota.
Redaktur: Chairul Akhmad

Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (5)


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Persaingan antarpenyelenggara umrah dan haji melahirkan jenis pemasaran multi level marketing (MLM).
Meski belum ada fatwa yang secara khusus mengenai praktik itu, keberadaannya mulai banyak dan terindikasi menimbulkan masalah bagi iklim bisnis maupun kerugian materi para jamaah.

Sanksi tegas bila menyimpang
Menurut Direktur Pembinaan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Ahmad Kartono, praktik MLM sangat merugikan masyarakat. Prosedur penyelenggaraan haji dan umrah, katanya, sudah diatur dengan undang-undang mulai pendaftaran awal dan setorannya. “Kontroversi secara hukum juga masih dipermasalahkan.”

Kartono mengungkapkan, pihaknya telah menerima aduan terkait dugaan penyalahgunaannya. Ada kalangan yang merasa dirugikan. Hal ini terbukti dengan lima surat pengaduan yang diterima Kemenag.
Para pelapor mengadukan maupun mempertanyakan travel berizin maupun tidak berizin yang mengadakan umrah dengan cara program ini. Area pengaduannya di Lampung, Jawa Tengah, Surabaya, dan Kalimantan.

Masyarakat, lanjut Kartono, terpikat dengan praktik MLM semacam ini karena dilatarbelakangi iming-iming biaya yang murah dibanding dengan biaya haji atau umrah secara resmi. Padahal, dengan cara berantai atau arisan ini, lebih banyak orang yang kecewa.

Secara tegas, Kartono menyatakan, pemerintah akan melayangkan teguran kepada travel yang dilaporkan tersebut. Ini penting mengingat semua penyelenggara haji dan umrah dituntut memenuhi ketentuan operasional. “Travel nakal seperti ini akan mengganggu citra travel resmi,” katanya.
Sementara Ketua Umum Majelis Pimpinan Pusat Rabithah Haji Indonesia (RHI), Drs H Ade Marfuddin, menyatakan saat ini sangat mudah untuk menjual produk jasa yang berbasis agama (ibadah)—khususnya haji—yaitu dengan membayar Rp 3,5 juta untuk umrah dan Rp 5 juta untuk haji khusus.

Ia khawatir, akan adanya upaya untuk membodohi masyarakat, yaitu MLM berkedok ibadah. Dan akibatnya, jamaah yang dirugikan.

Lapsus: Menyikapi Maraknya MLM Haji dan Umrah (6-habis)


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menurut Ade, dari sisi pemahaman, banyak masyarakat yang kurang memahami makna dan hakikat haji dan umrah.

Mereka hanya sebatas memaknai haji dan umrah untuk wisata semata sehingga haji dan umrah disamakan dengan perjalanan wisata biasa, bukan perjalanan spiritual dan penyempurnaan kewajiban dari rukun Islam yang kelima dengan syarat istitha’ah (berkemampuan), baik berkemampuan finansial, kesehatan, maupun keamanan serta kemampuan dalam ilmu pengetahuan (ilmu manasik hajinya).

Ade menilai, masyarakat Muslim Indonesia mudah teperdaya dengan tipu daya dan tipu muslihat tawaran MLM yang berkedok ibadah (cara mudah dan cepat haji atau umrah) tanpa memahami dampak terhadap downline yang ada di bawahnya.

Kerugian dan penyesalan hanya tinggal menunggu waktu. “Lagi-lagi yang dikorbankan adalah konsumen (masyarakat Muslim),” kata Ade.
Ade berpandangan, sistem MLM haji dan umrah tidak bisa menjamin bahwa downline dapat berangkat haji atau umrah. “MLM ini memiliki nilai ketidakpastian dan lebih banyak gharar (unsur penipuan)nya.”

Melihat kondisi ini, Ade mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat Muslim Indonesia dari praktik MLM yang berkedok ibadah. “Jangan menunggu korban lebih banyak dan masyarakat yang dirugikan,” pinta Ade.

Menurut dia, pemerintah harus tegas dalam menyikapi praktik MLM haji dan umrah tersebut karena proses ini dinilai tidak wajar dan mengandung unsur gharar-nya. Ade bahkan berharap perusahaan yang bergerak dalam MLM tersebut dicabut izinnya. Ia juga mendesak MUI untuk segera mengeluarkan fatwa haram terkait peraktik MLM haji dan umrah, sehingga calon jamaah dapat terselamatkan dari tipu daya MLM.

Kepada ormas Islam dan lembaga Islam, Ade memandang perlu untuk melakukan imbauan dan melakukan pencerdasan kepada umat agar tidak mudah tergelincir akan tipu daya MLM yang berkedok ibadah.
Masyarakat harus lebih hati-hati, bila mendapat tawaran untuk mengikuti MLM haji dan umrah. “Tanyakan kedudukan hukum MLM tersebut dan lebih hati-hati!” imbau Ade.